Halaman

Rabu, 12 Desember 2012

tokoh dan lembaga hukum

BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Mayoritas masyarakat indonesia adalah beragama islam. keberadaannya sudah mengalami pasang surut sejak masa kedatangannya pada abad ke VII melalui pedagang-pedagang timur tengah yang mendarat sampai ke bumi pertiwi ini. Perkembangan selanjutnya ialah ketika kerajaan-kerajaan memberlakukan hukum islam sebagai aturan dalam melaksanakan pemerintahannya kala itu. kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh raja-raja maupun orang-orang pemuka agama di daerah masing-masing tentunya beberapa merupakan ijtihad oleh para raja ataupun pemuka agama kerajaan yang memungkinkan penyatuan adat kebiasaan dengan syariat yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan segala perjuangan mereka melalui pemikiran-pemikirannya sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan serta karya-karya yang masih bisa kita rasakan sampai sekarang. tentunya adalah hal yang baik untuk kita sebagai umat muslim di indonesia untuk mengetahui bagaimana sejarah perjalanan serta tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan islam di indonesia sehingga islam dengan peraturan-peraturannya bisa sampai kepada kita saat ini.
Dalam perjalanan menuju kemerdekan bahkan sampai saat ini, banyak perbedaan-perbedaan diantara masyarakat indonesia.perbedaan ini tidak hanya dalam suku-suku, ras, ataupun antar negara, karena perbedaan juga muncul di dalam agama islam sendiri. Contoh kasus adalah berdirinya organisasi islam yang berbeda dalam mereka menentukan beberapa masalah dalam agama islam. Perbedaan ini semata karena metode yang digunakan oleh masing-masing organisasi adalah berbeda. Tentu hal inilah yang akan sangat menarik untuk kita bahas sebagai materi mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh agar kita sebagai mahasiswa lebih tahu dan lebih mengenal serta memahami perbedaan-perbedaan yang ada dalam agama islam.
Rumusan Masalah
1.    Siapa saja tokoh-tokoh yang berpengaruh terhadap perkembangan islam di indonesia?
2.    Apa saja lembaga pengkaji hukum islam di indonesia?
3.    Bagaimana perbedaan-perbedaan yang terjadi diantara masing-masing lembaga?
Tujuan
1.    Mengetahui tokoh-tokoh yang berpengaruh terhadap perkembangan islam di indonesia.
2.    Mengetahui lembaga-lembaga pengkaji hukum di indonesia
3.    Mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi diantara masing-masing lembaga.










BAB 2
PEMBAHASAN
A.    TOKOH-TOKOH ISLAM DI INDONESIA
Tokoh dalam hal ini berarti orang-orang pemuka agama yang memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan islam di Indonesia, karena melalui pemikiran dan karya-karya tokoh inilah islam di wilayahnya mempunyai penjelasan-penjelasan baik dari peristiwa yang telah terjadi di masa Nabi maupun dalam isu-isu dan masalah yang belum ditemukan dalam masa Nabi.
1.    Nuruddin Ar-Raniry (w. 1068/1658M)
Hidup pada masa pemerintahan sultan iskandar II dari kerajaan samudera pasai. Ar-Raniry diangkat sebagai mufti kerajaan. Usaha yang dilakukan beliau adalah melancarkan upaya pemberantasan tasawuf panteisme dan mengeluarkan fatwa tentang kesesatan aliran tasawuf tersebut. Aliran panteisme di Aceh dikembangkan oleh hamzah fansuri dan Syamsuddin as-sumatrani. Jadi, pantheism atau panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Mereka berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan tuhan adalah seluruh alam. Sedangkan benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra adalah bagian dari Tuhan.  Dampak fatwa ar-Raniry ternyata cukup dahsyat sehingga banyak karangan dari hamzah dan as-sumatrani yang dibakar dan para pengikutnya dikejar lalu dibunuh. Ar-Raniry sendiri dikenal dengan ulama tasawuf, karena banyak karya-karyanya sendiri adalah membahas tentang tasawuf. Ia juga dikenal sebagai pengikut tarekat Qadiriyah, rifaiyah, dan al-audarusiyah. Keahliannya inimewarnai pemikiran fiqhnya yang bercorak sufistik, dan pemikiran tasawufnya bernuansa fiqh. Maka kritikannya terhadap paham panteisme adalah dalam rangka mengharmoniskan hubungan syariat dan tasawuf dalam ajaran islam.
Hasil karyanya adalah kitab fiqh “sirat al-mustaqim” yang ditulis mulai tahun 1634 M sampai 1644 M. kitab ini juga digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan sengketa di kasultanan banjar.  Dia berusaha menjadikan fiqh sebagai sarana social engineering. Contoh ketetapan hukum dalam kitabnya adalah: tidak sah orang yang sholat dan bermakmuman dengan kaum panteisme, penyembelihan hewan kaum wujudiyah juga tidak sah, karena nilainya sama dengan sembelihan orang musyrik. Dalam beberapa hal, fatwa ar-Raniry juga bersifat provokatif, sehingga mengundang reaksi keras dari masyarakat aceh sendiri.
Kitab Sirat al-Mustaqim sendiri bercorak syafi’iah. Hal ini dapat dilihat dari referensi yang digunakan dalam penyusunannya. Kitab-kitab rujukannya adalah kitab fiqh syafi’iah standar, seperti minhaj at-Talibin karya nawawi ad-Dimaski, fath al-wahab bi syahri minhaj at-tullab  karya Zakaria al-Ansari, hidayat al-mukhtaj karya ar-Ramli. Metode istimbatnya menganut pola bermazhab qauli dan manhaj ala Syafi’i.
2.    Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105)
As-sinkili berasal dari Aceh dan merupakan ulama yang berpikiran moderat, kompromis, dan akomodatif. Dia sebenarnya juga ahli tasawuf  di mana ajarannya masuk kategori neo-sufisme. Dia belajar islam di timur selama Sembilan tahun. Karya terpentingnya dalam hokum islam ialah Mi’rat at-tullab fi tasyi’ al Ma’rifah al ahkam as syar’iyah li al-malik al-wahhab . Kitab ini di tulis atas permintaan sultan aceh, yaitu Sayyidat ad-Din
Pemikiran hukum as-sinkili lebih fleksibel dan akomodatif. Hal ini berbeda dengan pemikiran ar-Raniry. Kitabnya menjangkau pembahasan yang lebih luas, yaitu seluruh ajaran fiqh. Dalam bidang muamalah bahasannya meliputi: jual beli, riba, khiyar, syirkah, qirad, sulh, hiwalah, wakalah, dan iqrar.

3.    Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M)
    Al-banjari bisa digolongkan sebagai ulama abad ke 18. Beliau menulis kitab fiqh yang berjudul sabil al-muhtadin li at-tafaqquh fi Amr ad-Din, yang merupakan syarah kitab Ar-Ranniry. Kitab ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M sampai 1195 H/ 1781 M. tahun ini bertepatan dengan pemerintahan tahmidullah bin sultan tamjidullah dari kesultanan banjar. Corak pemikiran hukumnya adalah syafi’iyah. Hal ini terlihat dari rujukan dalam menyusun kitabnya, yaitu syarh minhaj karya Zakaria al-Ansari dan tuhfah karya ibnu hajar al-haitami.
Karya ini merupakan anotasi (syarah) dari kitab Sirat al-mustaqimnya ar-raniry. Meskipun kitab syarah, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Disamping itu juga terdapat beberapa pemikiran yang futuristic, spekulatif, dan dalam beberapa hal tidak berangkat dari realitas masyarakat banjar. Corak pembahasannyaa lebih kental dengan tradisi fiqh timur tengah yang sering disebut fiqh al-iftiradi (fiqh prediktif).
    Di sisi lain, al-banjari menunjukkan kepekaannya dalam mengistimbatkan hokum. Seperti ketika ia mengsahkan pembagian waris terlebih dahulu dibagi dua antara suami istri, setelah itu barulah hasil parohan tersebut dibagi kepada ahli waris. Hal ini merupakan pengembangan dari konsep fiqh klasik, bahkan keluar dari dictum Al-Qur’an.
    Keahlian al-banjari yang lain adalah dalam ilmu falak. Sepulang dari mekah tahun 1773 M dia membetulkan arah kiblat masjid jembatan lima Jakarta. Kontribusi terpentingnya adalah memperkenalkan doktri fiqh sebagai acuan dalam pengadila criminal. Atas ijin sultan, ia mendirikan pengadilan sipil dan memperkenalkan lembaga mufti sebagai institusi yang bertanggung jawab memberikan fatwa agama dan sosial.
4.    Abdul malik bin Abdullah Trengganu (1725-1733)
    Trengganu hidup pada masa pemerintahan sultan zainal abidin I dari kerajaan aceh.  Karyanya dalam bidang fiqh ialah kitab risalah an-naql, risalah kaifiyat an-niyat, dan al-kifayat.
5.    Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh
    Pemikiran hukum ulama ini terlihat dalam karya-karyanya, yaitu: kasyif al-Kiram fi bayan an nihayat fi takbirat al-ihram, faraid al-quran, Dan takhsis al fallah fi bayan al-ahkam at talaq wa an-nikah. Risalah ini di kumpulkan oleh abdul muthalib aceh dengan judul jam’u al-jawami’ al-mushannifat.
6.    Ahmad Rifai Kalisasak (1786-1876)
    Rifai adalah ulama jawa yang pernah blajar di mekkah selama delapan tahun. Dia adalah pencetus gerakan rifaiyah, yaitu suatu gerakan tarekat yang cukup berpengaruh di jawa. Rifai adalah ulama yang produktif dalam berkarya. Sekitar 53 kitab telah disusunnya, yang membahas semua persoalan agam islam, mulai dari akidah, fikih, hingga tasawuf. Diantara karya-karyanya dalam fikih adalah: Tarjuman, Tasyruha al-Muhtaj, Nazham at-Tasfiyah, abyam al-hawaj, dan Tabyin al-islah .
    Corak pemikiran rifai tidak jauh berbeda dengan ulama pendahulunya. Fokusnya adalah menyelaraskan hukum islam yang sudah tertuang dalam kitab fikih mazhab Syafi’i dengan realitas kehidupan pada masa itu. Pola istimbatnya adalah rekonstruksi doktrin mazhab syafi’i dan mengalih bahasakannya dalam Bahasa jawa dan Melayu. Seperti kitab tarjuman yang berbahasa jawa. Kitab ini disusun dengan merujuk pada kitab al-umm, ar-risalah, dan al-muhazzab. Pandangan hukum rifai lebih menekankan pada upaya pengenalan ajaran islam dalam konteks dakwah. Sasaran dakwahnya adalah orang awam dan muallaf, maka dari itu tidak mengherankan bahwa ia memfatwakan bahwa taqlid itu wajib bagi orang awam. Jadi rifai itu mengemukakan pemikiran hukumnya melalui pendekatan budaya.
7.    Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/ 1813-1898 M)
    Nawawi adalah ulama indonesia yang terkemuka, lahir di Serang Banten dengan Karya-karyanya masih banyak dipelajari sampai saat ini.  Tulisan-tulisannya melingkupi seluruh aspek ajaran islam, sperti: fqh, tafsir, sejarah, tauhid, akhlak, hadis, dan bahasa arab. Karyanya dalam fikih yang terkenal adalah kitab ‘Uqud al-lujain, yang menjadi bacaan wajib di berbagai pesntren Jawa.   Serta banyak karya-karya lainnya yang menunjukkan bahwa ia tidak dapat melepaskan diri dari mazhab yang diikutinya. Hal ini menyulitkan untuk menemukan karya orisinil atau otentik dari pemikiran Nawawi sendiri. Meskipun demikian, diantara ulama Syafi’iyah, nawawi adalah yang paling produktif. dalam menulis kitab syarah.
8.    Muhammad Salih bin Umar
    Lahir pada tahun 1820 dan lebih dikenal dengan nama Kyai Saleh Darat Semarang. Dia adalah ulama besar yang bermukim dan belajar lama di mekkah. Karya-karyanya menunjukkan kepeduliannya terhadap umat islam lokal serta komitmen terhadap agamanya yang tinggi. Salah satu karyanya ditulis dengan huruf Arab Pegon (jawa-arab) berjudul Majmu’at as-Syar’iat al-kafiyat li al-‘awam.
    Strateginya dakwahnya sangat tepat dalam rangka mengajarkan agama secara benar. Pemikirannya yang unik misalnya dalam penetuan awal bulan ramadhan dapat ditandai dengan adanya lampu lentera diatas menara masjid, adanya suara bedhug yang dipukul, serta adanya suara dentuman meriam. Kitab Majmu’at juga merekam berbagai adat istiadat orang jawa, seperti sesajen untuk roh-roh halus, ungkapan danyang, sedekah bumi, hitungan pasaran, dan sebagainya.
9.    Hasbie As-Siddieqy (1905-1975)
    Lahir pada tanggal 10 maret di lhoksumawe, aceh utara. Ibunya bernama tengku amrah, putri tengku aziz, pemangku jabatan qadli chik maharaja mangkubumi. Ayahnya bernama al-hajj tengku muhammad husein bin bin su’ud. Hasbi adalah keturunan ke-37 dari abu bakar ash-siddiq, karena itulah sejak tahun 1952 M, atas saran syeh muhammad bi salim al-kalali seorang ulama berdarah arab yang mukim di aceh, hasbie menggunakan sebutan ash-shiddiqiey dibelakang namanya sebagai nama keluarga.
    Pemikiran hasbi yang terkenal dalam pengembangan hukum islam di indonesia adalah gagasannya tentang fikih indonesia. Gagasan ini dilontarkan pada tahun 1940an melalui tulisannya yang berjudul “memoedahkan pengertian islam”. Pemikiran ini didasari perlunya membentuk fiqh tidak menjadi barang asing dan diperlakukan sebagai barang antik.  hasbi memandang pentingnya menetapkan hukum fiqh berdasarkan ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan bangsa indonesia. Konsep hukum islam yang asing dan tidak relevan harus segera dicarikan alternatif baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktikan di indonesia.
    Pemikiran tentang fiqh indonesia dilatarbelakangi oleh situasi sosial dan politik di indonesia waktu itu. Secara sosial, terjadi pengkultusan terhadap pemikiran hukum islam di kalangan masyarakat muslim. Hukum islam dalam realitasnyamengalami dekadensi sehingga kelihatan tidak berdaya, tidak dianggap oleh umat karena tidak mampu mengakomodir berbagai perubahan sosial. Hasbi melihat pentingnya melahirkan ide tentang tajdid (pembaruan) bagi hukum islam di indonesia. Hukum islam harus mampu menjawab persoalan baru. Oleh karena itu para mujtahid harus memiliki kepekaan terhadap maslahah dan kreativitas yang tinggi guna merusmuskan alternatif fiqh baru. Untuk tujan ini perlu kerja kolektif melalui sebuah lembaga permanen dengan anggota dari berbagai keahlian. Sistematika pemikirannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.    Perlu dilakukan refleksi historis atas pemikiran hukum islam pada masa awal perkembangannya.
2.    Mempertimbangkan ada istiadat sebagai acuan pembentukannya.
3.    Berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan, kemanfaatan, serta sadd adz-dzari’ah.
4.    Menggunakan metode analogi-deduktif dalam istimbat hukum untuk menetapkan hukum persoalan yang belum ada ketetapannya dari fikih yang terdahulu.
5.    Memanfaatkan pendekatan sosial-kultural-historis dalam proses pengkajian dan penemuan hukum islam.
Beberapa hasil ijtihad Hasbi terkait dengan gagasannya adalah: bolehnya berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing sudah baligh. Tradisi ini sudah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat indonesia. Hasbi tidak melihat bahwa praktik ini bebahaya sehingga tidak ada alasan untuk melarangnya. Hal ini berbeda keputusan ketetapan majelis Ahmad Hasandan Persatuan Islam (persis) yang mengharamkan jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Menurut hasbi dasar pengharaman tersebut adalah qiyas sehingga tidak kuat sebagai alasan. Mengharamkan sesuatu harus dengan dalil qat’y, padahal tidak ada dalil qat’y baik dalam al-Qur’an maupun hadis yang mengharamkan jabat tangan. Hasbi juga mewajibkan zakat bagi mesin-mesin produksi di pabrik. Pandangan ini dirasa cukup relevan dengan konteks indonesia yang sedang membangun. Wewnang pengurusan zakat ada pada pemerintah dan dilakukan satu paket dengan penyelenggaraan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, muslim dan non-muslim.oleh karena itu pungutan zakat juga berlaku bagi masyarakat non-muslim.
10.    Hazairin (1908-1975)
    Tema pemikiran hazairin tentang hukum islam adalah “fiqh mazhab Nasional”, yang intinya adalah perlunya menyatukan nilai-nilai adat dengan hukum islam. Menurut Hazairin, persoalan yang dihadapi umat islam indonesia adalah masalah hukum yang eksistensinya masih dicari-cari tempatnya dalam masyarakat.  Pintu ijtihad yang selalu terbuka menjadi dasar pemikirannya untuk mengkonstruksi mazhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat indonesia. Mazhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat indonesia. Mazhab Syafi’i harus dikembangankan , sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Pengembangan mazhab syafi’i menjadi titik awal dari terwujudnya fiqh mazhab nasional. Alasannya adalah, karena mazhab syafi’i telah lama sekali berakar di indonesia, sehingga karakternya dianggap paralel dengan nilai-nilai adat indonesia.
    Dengan merujuk pasal 29 ayat 1 UUD 1945 maka tidak perlu ada pertentangan antara hukum adat, hukum positif, dan hukum agama. Tidak boleh juga adanya hukum yang bertentangan dengan hukum agama islam dan agama lain. Negara juga wajib mengatur dan mengontrol sistem hukum islam, terutama aspek muamalah yang memang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.
    Ide hazairin dapat dianggap sebagai pengembangan dari gagasan Hasbi. Pandangan keduanya bermuara pada kesamaan pemikiran tentang  posisi hukum adat sebagai bahan pertimbangan utama dalam pembentukan hukum islam di indonesia. Tujuannya adalah untuk menyatukan norma-norma yang berasal dari adat maupun dari hukum islam ke dalam suatu entitas hukum. Sehingga tidak ada lagi dikhotomi antara hukum adat dan hukum islam dalam realitas hukum yang berlaku di masyarakat, karena hukum yang dipraktikkan adalah aturan atau kebiasaan masyarakat yang sudah diadaptasikan dengan ajaran islam. Hal ini akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat muslim dalam beragama dan bermasyarakat.
    Gagasan Hazairin ini dituangkan dalam ijtihadnya tentang kewarisan islam. Menurutnya, konsep hukum waris islam yang dikemukakan oleh para ulama menganut sistem patrilineal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya arab. Bagi hazairin, esensi hukum waris islam dalam Al-Qur’an bilateral. Yaitu menarik harta  dari pihak ayah dan ibu. Dasar pemikirannya adalah pemikirannya adalah penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentang waris dan fenomena pernikahan Ali dengan Fatimah yang disebut eksogngami, hal ini tak lazinm dilakukan orang arab kala itu. Dalam  pemikiran hukum waris bilateral membawa konsekuensi sebagai berikut:
1.    Istilah asabah berasal dari adat masyarakt arab, sehingga tak lazim dipertahankan,
2.    Keturunan dari pihak perempuan sama kuatnya dengan keturunan dari pihak laki-laki.
3.    Memasukkan ahli waris pengganti ke dalam sistem kewarisan islam, dengan dasar surat an-Nisaa’ ayat 33.
4.    Memperkenalkan pengelompokkan ahli waris baru yaitu: zawil faraid, zawil qarabah, dan mawali. Sebagai ganti dari zawil furud, ‘asabah, dan zawil arham.
5.    Pengertian Kalalat (mati punah) diikutsertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak memiliki keturunan). Dalam konsep fiqh sunni, kalalat adalah orang yang mati tidak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah.




B.    LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM DI INDONESIA
Selain dari peradilan agama , di Indonesia terdapat berbagai lembaga yang mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum agama Islam. Lembaga ini tidak bersifat mandiri karena merupakan bagian dari organisasi  masyarakat Islam yang ada di Indonesia. Oleh karenanya metodologi ijtihad ataupun produk fatwanya dipengaruhi oleh corak organisasi yang menaunginya.
Majelis tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1.    Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masyarakat yang memiliki misi utama pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama yang meliputi dua segi. Pertama, pembaharuan  dalam arti mengembalikan pada keasliannya/kemurniannya, yang sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.Kedua, pembaharuan dalam arti modernisasi, yang sasarannya seperti: metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
a.    Sejarah pembentukan majlis tarjih
Majlis tarjih didirikan berdasarkan keputusan kongres Muhammadiyah ke-16 tahun 1927 di Pekalongan atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Usul tersebut berdasarkan adanya kekhawatiran akan timbulnya perpecahan di kalangan anggota Muhammadiyah, terutama ulamanya dikarenakan perbedaan pemahaman dalam masalah hukum agama. Perbedaan-perbedaan dapat menimbulkan perpecahan ,pertentangan, dan memunculkan kefanatikan sehingga meretakkan ukhuwah islamiyah.
     Dalam muktamar Muhammadiyah ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat. Selain membuat anggaran dasar juga menetapkan tugas Majlis Tarjih,yaitu:
1.    Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama.
2.    Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapakn hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yag memang penting dalam perjalanan Muhammadiyah.
3.    Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqh yang dipandang mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya, tidak mengutamakan aql di atas naql.
b.    Manhaj Istinbath Majlis Tarjih
Majlis Tarjih Muhammadiyah mempunyai metodologi istinhbath hukum yang bersifat dinamis (berkembang sesuai dengan perkembangan zaman).  Perumusan aspek metodologis dinamis tersebut terakhir kali dilakukan pada saat Munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 yang diadakan di Jakarta. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1.    Mengugah istilah al-sunah al-shahihah menjadi al-sunah al-maqbulah sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Muhammdiyah tidak hanya menggunakan hadis shahih tetapi juga hadits hasan. Muhammadiyah membolehkan talfiq, yaitu menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar’i sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
2.    Posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum,yang fungsinya adalah merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum ada terumuskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
3.    Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan), metode ta’lili (menggunakan pendekatan ‘illat hukum), dan metode istishlahi (menggunakan pendekatan kemaslahatan). Jika terjadi hasil yang berbeda karena perbedaan penggunaan metode, maka untuk perkara yang akal manusia tidak dapat menjangkau ‘llat dan kemaslahatannya, metode bayani harus diprioritaskan.
4.    Manhaj menetukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu: hermeneutika (tafsir), sejarah, sosiologis, dan antropologis.
5.    Ijma’, qiyas, mashlahah al-mursalah, serta ‘urf berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum. Meskipun istihsan dan saddu al-daro’i tidak disebutkan namun keduanya juga digunakan terbukti dengan kenyataan bahwa keduajuga didasarkan atas prinsip kemaslahatan yang dipandang sebagai salah satu metode penetapan hukum.
6.    Pertentangan dalil (ta’arudl al-adillah) diselesaikan secara hirarkis melalui al-jam’u wa al-tauqif, al-nasakh wa al-mansukh, al-tarjih, dan al-tawaqquf. Majlis Tarjih secara tidak langsunng mengakui adanya nasikh mansukh.
7.    Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi sanad (kualitas dan kuantitas rawi, shigot tahammul wa al-ada’), segi periwayatan (mendahulukan shigot nahy daripada amr, shigot khosh daripada ‘amm ), segi materi hukum dan segi eksternal.
8.    Hal-hal yang tidak diubah masih tetap berlaku, seperti: mendasarkan akidah hanya pada dalil mutawatir,pemahaman terhadap al-Qur’an dilakukan secara komphrehensif dan integral, peran akal dalam memahami al-Qur’an dan sunah dapat diterima,dll.

c.    Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj pengembangan pemikiran Islam pada Muhamadiyah dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:
1.    Prinsip al-Mura’ah (konservasi), yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul.
2.    Prinsip al-tahditsi (inovasi), yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Ini dilakuka dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
3.    Prinsip al-Ibtikari (kreasi), yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstraktif, dalam menyahuti permasalahan aktual.
d.    Mekanisme Pengambilan Keputusan MTPPI
Terhadap persoalanyang memerlukan pemecahan dalam perspektif Islam, dibahas oleh majlis tarjih dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj istinbath hukum kemudian menarik kesimpulan hukum. Hasil dari keputusan hukum kemudian diajukan kepada pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritas untuk mentanfidzkan  atau tidak sesuai dengan pertimbangan yang dimiliki. Semua dar hasil tanfidz masih tetap terbuka untuk diadakan tinajuan ulang.
2.    Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’(NU)
NU merupakan organisasi yang menjadikan faham Ahlussunah wal jamaah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan mengikuti salah satu dari empat madzhab: Hanafi, Hanbali, Maliki, Syafi’i dalam hal fiqh.
a)    Sejarah Berdirinya Lajnah Batsul Masail
    Latar belakang berdirinya lajnah bahtsul Masail adalah karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap terhadap hukum Islam,terutama menyangkut kebutuhan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong para ulama NU untuk mengadakan bahtsul masail,sebagai lembaga permanen yang mengurusi masalah keagamaan. Bahtsul Masail ini pertama kali dilakukan pada tahun 1926,beberapa bulan setelah NU didirikan, yang kemudian secara resmi institusi Lajnah Bahtsul Masail diusulkan pembentukannya pada muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989. Hingga akhirnya Terbentuklah Lajnah Bahtsul Masail Diniyah berdasarkan Keputusan PBNU No.30/A.1.05/5/1990.
b)    Metode Istinbath Hukum Lajnah Bahtsul Masail
Istinbath hukum di kalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Al- sunah. Dalam realitanya, istinbath hukum diartikan sesuai dengan sikap dasar bermadzhab, yaitu men-tathbiq-kan  (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha’ dalam permasalahan yang dicari hukumnya. Oleh karena itu penggunaan kata istinbath kurang popular di kalangan NU, sebagai gantinya adalah kata maraji’ (referensi) yaitu kitab-kitab karya para ulama.
c)    Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum
Metodologi pengambilan hukum lajnah bahtsul masail dirmuskan pada Munas Bandar Lampung tahun 1992. Dalam memberikan jawaban ittifaq hukum digunakan susunan metoddologi sebagai berikut:
1.    Dalam kasus yang jawabannya ditemukan satu qaul (pendapat) saja, maka qaul tersebut diambil.
2.    Dalam kasus yang hukumnya terdapat dua pendapat , maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya.
3.    Bila tidak ditemukan pendapat sama sekali, dipakai ilhaq al-masail bi al-nadhariha (menetapakan hukum ssesuatu atas sesuatu yang sama yang telah ada) secara jama’i oleh para ahlinya.
4.    Masalah yang dikemukakan jawabannya dalan ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur madzhab secara manhaji oleh para ahlinya.  
Kerangka metodologi di atas menunjukkan adanya terjadinya dinamika pemikiran  dalam lembaga bahtsul masail yang setidaknya terjadi transformasi dari bermadzhab fil qaul menuju bermadzhab fil manhaj.  Hal ini disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal, yakni munculnya tokoh muda kritis yang berwawasan keagamaan inklusif  dan menyadari munculnya pluralitas agama dan pemahaman keagamaan. Kemudian faktor eksternal, yakni pergumulan warga nahdliyyin dengan berbagai wacana modern yang membentuk sikap kritis pada prinsip yang telah baku. Faktor inilah yang mendorong perubahan untuk mengkontektualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
3.    Dewan Hisbah Persatuan Islam
Persatuan Islam adalah organisasi sosial yang berdiri pada tanggal 12 September 1923 atau 1 Shafar 1342. Pada awalnya, enbrio organisasi ini adalah sekelompok otadarusan/ penelaahan Agama Islam di Kota Bandung yang dipimpin  oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Nama persatuan Islam ini dimaksudkan untuk mengarahkan ruh al-jihad dan jihad, yaitu persatuan antara pemikiran islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam dan persatuan usaha Islam. Persis yang banyak dipengaruhi oleh aliran Wahabiyah, Arab Saudi ini tampil berdakwah sekaligus menentang praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Misi dan doktrin utamanya adalah al-Ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah (kembali pada Al-Qur’an dan As-sunnah).
A.    Sejarah terbentuknya Dewan Hisbah
Dewan Hisbah sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis. Majlis Ulama Persis secara resmi berdiri setelah melalui muktamar Persis keenam di Bandungtanggal 15-18 Desember 1956. MUP berganti nama menjadi Dewan Hisbah pada muktamar kedelapan yang dilaksanakan pada tahun 1983 yang dibentuk oleh pimpinan pusat. Pada tanggal 25 Oktober Dewan Hisbah mengalami pembenahan sruktur, yaitu dibentuk tiga komisi: Komisi Ibadah, komisi mu’amalah, komisi aliran sesat.
B.    Metode istinbath Hukum Dewan Hisbah
Dewan Hisbah menetapkan metodologi pengambilan keputusan hukum atau yang disebut dengan Thuruqul Istinbath, ada tiga bagian:
a.    Ahkam al-Syar’i, yaitu ketetapan yang ditentukan oleh syar’i yang bersifat tuntutan dan pilihan,seperti wajib, haram, sunah, dll.
b.    Sumber Hukum, yaitu A-Qur’an dan As-sunnah.
c.    Metode istinbath hukum,  yang terdiri dari: kaidah ushuliyah (kaidah kebahasaa), tujuan umum perundang-undangan Islam, cara menyelesaikan nas yang tampak bertentangan.

C.    Mekanisme Ijtihad Dewan Hisbah
Dewan  Hisbah dalam malakukan ijtihad adalah  dengan mekanisme seperti di bawah ini:
a.    Mencari keterangan dari a-Qur’an.
b.    Bila tidak terdapat dalil al-Qur’an,maka diadakan penelitian tentang hadits, baik dari segi sanad maupun matan. Hal ini unutk melakukan pentarjihan. Dewan Hisbah juga menerima hadis sebagai bayan dari al-Qur’an.
c.    Jika tidak terdapat dalam sunnah, maka dicari atsar sahabat, dengan cara yang sama dengan butir yang kedua.
4.    Komisi  fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah yang menghimpun para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim. Majelis ini berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI, yaitu:
a.    Sebagai pewaris tugas para nabi
b.    Sebagai pemberi fatwa
c.    Sebagai pembimbing dan pelayan umat
d.    Sebagai gerakan al-ishlah wa al-tajdid
e.    Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.
A.    Metode Ijtihad MUI
Karena di dalam tubuh MUI terdapat berbagai macam ormas juga madzhab yang berlainan, maka apa yang menjadi fatwa MUI mencerminkan adanya keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan metode yang digunakan MUI dalam menetapkan Hukum meliputi tiga pendekatan, yaitu:
a.    Pendekatan nash Qath’i, berpegangan pada al-Qur’an dan sunnah, jika masalah suatu masalah telah ditetapkan di keduanya. Jika tidak ditemukan, maka penjawaban dilakukan dengan cara Qauli dan Manhaji.
b.    Pendekatan Qauli, adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkan pada pendapat para imam madzhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka.
c.    Pendekatan Manhaji, digunakan setelah melaui proses pendekatan nash Qath’i dan pendekatan Qauli. Dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah pokok (al-Qowaid al-Ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh para imam madzhab dalam merumuskan suatu masalah.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab, maka penetapan fatwa dilakukan dengan mencari titik temu di antar pendapat-pendapat madzhab melalui al-Jam’u wa al-Tauqif, jika juga tidak berhasil maka dengan jalan tarjih.
Hal yang juga diperhatikan dalam metode istinbath MUI adalah kemaslahatan umum dan intisari agama, sehingga fatwa MUI benar-benar bisa menjadi jawaban dari permasalahan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya. 


BAB 3
KESIMPULAN
Beberapa Tokoh Islam yang Brpengaruh terhadap hukum-hukum islam baik dijamannya maupun sampai sekarang diantaranya:
•    Nuruddin Ar-Raniry (w. 1068/1658M)
•    Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105)
•    Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M)
•    Abdul malik bin Abdullah Trengganu (1725-1733)
•    Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh
•    Ahmad Rifai Kalisasak (1786-1876)
•    Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/ 1813-1898 M)
•    Muhammad Salih bin Umar
•    Hasbie As-Siddieqy (1905-1975)
•    Hazairin (1908-1975)
    Sejarah perkembangan Islam juga dapat kita lihat pada masa sebelum pendudukan bangsa asing, pada masa pendudukan Belanda maupun Jepang, pada masa kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Orde Baru, serta pada masa Reformasi.
    Lembaga hukum islam di indonesia ada empat yaitu: Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lajnah Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama, Dewan Hisbah Persatuan Islam, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Perbedaan diantara masing-masing lembaga adalah Metodologi yang digunakan untuk menetapkan hukum.






DAFTAR PUSTAKA

Shodiqin, Ali, Fiqh dan Ushul Fiqh, Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya
Di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Ibrahim, M. Sa’ad, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam: Manhaj
dan Aplikasinya, dalam http://miklotof.wordpress.com
Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan  Bahtsul Masail, Jakarta: Sekjen PBNU, 2002.
Uyun,Kamiluddin, Menyorot Ijtihad PERSIS, Bandung: Tafakkur, 2005.
Muhammad yusuf,  fiqh dan ushul fiqh, Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005.
http://istiqlalart.wordpress.com/2012/01/26/aliran-aliran-dalam-filsafat/#more-64










1 komentar:

  1. Is merit casino a scam or a legit casino?
    Is it safe to 인카지노 play 메리트 카지노 고객센터 at legitimate sites? Does merit casino scamster 제왕 카지노 play? Find out here.

    BalasHapus